Rabu, 22 Februari 2017

Baca Ini Pengakuan Seorang PSK Di Kalijodo, "Saya menjalani profesi ini, dimulai dari rasa sakit hati,"

Kabar8.blogspot.com. Namanya Merry, begitu pengakuannya. Entah itu nama asli atau nama panggungnya. Usianya sudah 42 tahun. Wajahnya terlihat tebal terpoles riasan yang menutupi warna asli kulitnya. Ia lalu mempersilahkan saya duduk di sampingnya.

Baca Ini Pengakuan Seorang PSK Di Kalijodo, "Saya menjalani profesi ini, dimulai dari rasa sakit hati,"
Baca Ini Pengakuan Seorang PSK Di Kalijodo, "Saya menjalani profesi ini, dimulai dari rasa sakit hati,"
Rabu (18/2) malam, dari sisi bangku yang kosong, saya mulai mendengarkan kisah kehidupan Merry hingga terantai dalam dunia prostitusi.

Dimulai dari Rasa Sakit Hati

Harus diakui, meski tidak lagi muda, cara merayu Merry kepada pelanggan atau pun orang yang melewati deretan kafe di Kalijodo, tidak kalah dengan PSK belia yang datang dari berbagai daerah.


Pada usia 16 tahun Merry pernah menikah. Ia dan suaminya bekerja sebagai nelayan di Pati, Jawa Tengah. Sayangnya, pernikahannya kandas lantaran suaminya memiliki wanita idaman lain. Yang membuatnya semakin sakit hati adalah, suaminya memilih menikah dan tinggal dengan perempuan yang sudah memiliki empat anak.

Sebagai pengobat rasa sepi, ia pun mengasuh dua anak kakaknya. Sebab, ia tidak memiliki anak dari mantan suaminya.

"Saya anak paling muda dan liar," kata dia. "Tapi saya bersyukur bisa merawat dia (anak angkat) sampai menikah."

Mematok Tarif Rp 150 Ribu Sekali Kencan

Merry sudah menjadi PSK selama bertahun-tahun. Kepada keluarganya di kampung halaman, tentu saja Merry tidak mengaku bekerja sebagai PSK di Jakarta.

"Saya mengaku bekerja sebagai pembantu sama ibu saya," kata dia.

Bicara tarif, Merry tidak mematok harga tinggi. Ia menawarkan tubuhnya untuk dijamah pria hidung belang seharga Rp 150 ribu untuk sekali kencan. Tetapi, tarif itu masih harus dipotong untuk sewa kamar Rp 30 ribu.

"(Tarif saya) bisa kurang dari Rp 120 ribu," kata Merry sembari mengelus-elus tangannya untuk memberi kode penawaran pijat.

"Nanti plus-plusnya di dalam," kata dia dengan nada menggoda.

Enggan Menjadi Mucikari

Selain menjajakan diri, ternyata ia juga berprofesi sebagai calo yang menawarkan rekan PSK lainnya kepada pelanggan. Istilahnya  Anak Freelance.

Untuk perempuan seumurannya, kata Merry, seharusnya ia lebih pantas disebut sebagai ;mami; alias mucikari. Namun dia enggan menjadi mami, karena tanggung jawabnya lebih berat.

"Kalau jadi mami, susah mas. Bisa-bisa tukang kredit ujung-ujung ngejar kita kalau PSK lari," ujar Merry yang tinggal di kamar kosan tak jauh dari kafe ia bekerja.

Ia menjelaskan, banyak PSK yang kabur setelah terbelit hutang. Jika sudah begitu, para mami yang kelimpungan menanggungnya. "Mereka (PSK) mau ikut, jadi anak mami. KTP tidak ditahan."

Tidak hanya masalah hutang. Menurut dia, untuk menjadi mami diperlukan modal yang besar. Seperti membelikan alat rias, dan pakaian.

PSK Didatangkan dari Berbagai Daerah

Para pelanggan yang mampir ke salah satu kafe di Kalijodo akan dikenakan Rp 50 ribu. Harga itu dibayar hanya sebagai tiket masuk, segelas bir ukuran besar, dan melihat-lihat para PSK. Jika ingin berhubungan badan dengan PSK, menurut Merry, pelanggan harus merogoh Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu.

Tetapi, PSK yang menjadi anak buah mami tidak akan langsung menikmati hasil keringatnya. Uang itu dipegang mami dan diberikan sebulan sekali. Dalam satu hari, Merry mengungkapkan, satu PSK bisa melayani lebih dari lima pria.

"Itu yang saya ketahui kalau menjadi milik Mami. Penghasilan dibagi 50-50, dan makanan dibagi-bagi," ucap Merry.

Rata-rata, satu mami yang memiliki cafe besar, memelihara belasan hingga puluhan PSK. Gadis-gadis muda itu didatangkan dari berbagai daerah di pulau Jawa, Sulawesi, dan lainnya.

Ingin Bertobat

Diakui Merry, kehadiran gadis-gadis itu membuatnya kalah bersaing. Sesekali di tengah obrolan kami, Merry menunjuk sejumlah pria yang melintas.

"Tuh dia udah lupa (dengan Merry)," kata Merry.

Tetapi, saat ini sebagian besar PSK di Kalijodo sudah mengungsi. Merry pun sudah mengemasi barang-barangnya. Ia mengaku ingin bertobat dan hidup normal di kampung halamannya.

Berbekal sejumlah uang tabungan, ia ingin mencoba membuka usaha dan berkumpul dengan keluarganya di kampung. "Umur saya sudah tua, 42 tahun dan tidak memiliki apa-apa lagi," ucap Merry mengakhiri obrolan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar